Senin, 02 Maret 2015
Sampai jumpa lagi, Indonesia
Teringat sore itu, kala berbuka puasa di Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta. Ingat aku saat Pak Maulana dan seorang kawannya dari Broker Almasry, membagi seluruh boarding pass ke sejumlah orang dari kami. Mereka yang diserahi bertanggung jawab penuh atas pemilik-pemilik kartu dan urusan penerbangan mereka hingga sampai Mesir. Termasuk yang kupegang kala itu boarding pass milik Fenti Febriani dan Febry Eraz Chaniago, dua 'Febri' yang sukar kulupakan. Demi al-Azhar Mesir kami rela tinggalkan bapak-ibu, juga Tanah Air tercinta.
Sampai Kuala Lumpur pesawat kami transit sejenak, barangkali untuk isi bahan bakar bakar. Transit lagi bukan sejenak setelah itu di negara teluk yang kelak kami kenal dengan lembaga zakatnya, Kuwait. Hampir enam-delapan jam kami disuruh bersabar hingga pemberangkatan ke Mesir dilanjutkan. Aku sendiri, bareng Imam Taufiq, semalam suntuk termangu di Mushalla Bandara. Sesekali aku berkeliling mencari-cari, walau tanpa tujuan. Berpindah ke kursi di depan Mushalla, berdua kami nanya-nanya kenalan baru warga Malaysia. Bapak dengan peci putih khasnya yang juga bertujuan ke Mesir itu rupanya mahasiswa di sebuah provinsi Mesir, Thantha seingatku. Tampaknya ia sudah banyak makan asam-garam kehidupan dan perkuliahan Mesir. Bincang hangat dini hari tersebut terjebak di pikiran lalu mengendap jadi nostalgiaku. Dan yang paling kuingat darinya:
مصر: (م) مشقة.. (ص) صبر..(ر) رضا
Masyaqqah berat, Shabr sabar dan Ridha rela
Begitu singkatan Mesir, menurutnya. Intinya hidup di sana bakal tak mudah. Hati kami kecut. Semoga itu cuma gertakan. Sampai di Mesir, rasanya omongan pria Malay tadi lumayan benar. Kali pertama menginjakkan kaki di Kairo, urusan kami langsung dipersulit. Sudah jelas paspor kami tertera visa entrynya, eh masih dipermasalahkan pihak imigrasi Mesir, barangkali gara-gara tampang kami pelajar. Tapi, kok visa kalian turis, sih?! Hasilnya, hampir sejam atau tiga jaman baru kami lolos. Mungkin yang jemput kami dongkol juga karena kelamaan menunggu. Tapi alhamdulillah, malah senyuman lega Delta, Lalu, Arwani, Imam.W, Kiwe, Mas Mughits dkk IKPM-Almasry yang kami dapati pas keluar. Merekalah senior-senior kami yang kelak menyandang titel Kambing.
Sempat kaget aku udara panas negeri ini turut tersenyum menyambut kedatangan kami. Pelan-pelan kesejukan AC terlepas begitu melewati pintu keluar. Jadilah angin gurun yang memeluk panas tubuh-tubuh berlapis jaket itu. Kami yang kala itu masih polos dan buta akan kemesiran, digiring meninggalkan Terminal Satu menuju bus mini putih yang juga telah lama menanti. Mahattah selanjutnya Bawwabat Tiga, tempat sekretariat IKPM, dan kami brokernya IKPM akan diturunkan di halte bus bersejarah itu, lima tahun sejak itu aku masih sering mengingatnya. Sejumlah pengurus PSP, salah satunya Kiki Subuki, kini namanya diganti Ahmad Rizki, juga tengah bersiap menyambut para Camaba al-Azhar 2010. Begitu cekatan tangan mereka menurunkan dan menghantarkan koper-koper berat itu ke rumah baru kami. Kami sendiri dipersilakan santai melepaskan letih di Sekre, sambil menyeruput secangkir Irsyad dari kakak-kakak pembimbing IKPM. Ah, gelar terhormat itu pantaskah disingkat begitu murah “Kambing”.
Tiba waktu sambutan ketua dan para senior IKPM, termasuk MPO-nya Pak Lason kala itu. Masih ingatkah nasihat beliau dulu? “Fokuslah belajar di Mesir, jangan pikir bisnis, dan lekas pulang ke Indo!” sebagian kata-katanya. Terserah apa tanggapan kalian. Aku pun setuju dengan beliau, awalnya. Hehe, fakta sekarang justru sebagian kami, aku juga, terpaksa mengenyam dunia bisnis. Sebagian lain keukeuh kayak rel metro anfaq, lurus, kadang lenggak-lenggok, namun tujuan utama sampai. Itulah sekeping puzzle perjalanan kami di Bumi Para Nabi. Semoga tali silaturahim ini tetap terjaga, sampai kelak di Indonesia. Selamat kawan-kawanku yang telah lulus dari al-Azhar, semoga ilmu kita bermanfaat bagi kaum kita. Doakan juga kelak kami menyusul kalian ke Indo dengan husnulkhatimah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar