Rabu, 04 Maret 2015

Beberapa Kaidah Nyanyian yang Halal


Terjemahan buku “Al-Islam Wal Fann” karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Hal. 66 – 80

Dalam mendengarkan musik dan nyanyian terdapat beberapa syarat;
Pertama. Sebenarnya, tak semua nyanyian itu hukumnya halal, dari segi muatan pun perlu diperhatikan, yaitu harus sesuai dengan akhlak dan nilai dalam Islam. Maka syair Abu Nuwas semisal di sini termasuk yang tidak boleh:

دعْ عَنْكَ لوْمِي فإنَّ اللوْمَ إغراءُ  #وَدَاوِني بالتي كانَتْ هيَ الداءُ
Janganlah Kau olok diriku karena justru memancing hasratku
Dan obatilah sakitku ini dengan sebuah penyakit (Arak.red)

Begitu pula syair Ahmad Syawqee yang seperti ini;

رَمَضانُ وَلّي هاتِها يا ساقي # مُشتاقَةً تَسعي إِلي مُشتاقِ
Ramadhan kini pergi -Wahai Pelayan- tuangkan minumanku (Arak.red)
Sungguh ia tlah merindukanku, kemarilah wahai kekasih pada kekasihmu

Apalagi yang semacam kata-kata Elia Abu Madhi dalam kasidahnya “Tholasim”:

جئتُ لا أعلم من أين ولكني أتيتُ
ولقد أبصرتُ قدامي طريقاً فمشيتُ
كيف جئتُ كيف أبصرتُ طريقي
لست أدري

Ku muncul entah dari mana, aku tak tahu, tapi tiba-tiba aku telah ada
Tampak bagiku sebuah jalan di depan, lalu aku pun berjalan
Bagaimana aku ada? Bagaimana kutemukan jalan?
Aku sendiri tak tahu!

Begitu pula syair lain Elia yang berjudul “Min Gheir Leih”, telah diterjemahkan dalam bahasa 'ammiyah Mesir, yang pengaruhnya terus meluas. Nyanyian-nyanyian tersebut dilarang karena bisa menimbulkan efek keraguan dalam hal-hal keimanan, seperti masalah penciptaan, akhirat dan kenabian. Apalagi lagu berjudul “Dunia adalah rokok dan cangkir arak”, dan lagu-lagu semisalnya, yang berlawanan dengan ajaran Islam yang mengharamkan arak, karena termasuk perbuatan keji dan amalan setan. Bukan cuma para peminumnya, bahkan yang memeras, menjual, membawa, dan semua yang punya andil dilaknat oleh Islam. Termasuk pula yang temanya rokok yang merupakan penyakit masyarakat dan berbahaya bagi badan, jiwa serta harta. Kemudian nyanyian-nyanyian yang memuji penguasa zalim dan fasik yang gemar menindas rakyat. Para pelaku kezaliman dan pembantunya, termasuk orang-orang yang mendiamkan mereka juga dilaknat oleh Islam, apalagi memujinya!
Tak boleh pula nyanyian yang menyanjung mata-mata liar karena berlawanan dengan adab Islam, sesuai firman-Nya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya...”  dan “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…”  dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Ali janganlah kau ikutkan pandangan dengan pandangan lain. Bagimu yang pertama, tapi bukan yang terakhir.”

Kedua dari segi penyampaiannya juga perlu diperhatikan. Bisa jadi hukum nyanyian itu sendiri aslinya mubah, namun jika si penyanyi menyampaikannya dengan dibuat-buat guna memancing syahwat, bisa-bisa hukumnya jadi haram, subhat, atau makruh. Sebagaimana nyanyian-nyanyian yang disiarkan di beberapa radio yang membangkitkan hasrat, terutama bagi kalangan muda-mudi yang sedang bergejolak. Sebagaiman firman-Nya kepada para istri nabi SAW (Janganlah Kalian tunduk dalam berbicara hingga menimbulkan keinginan (hasrat) orang yang terdapat penyakit dalam hatinya) . Apalagi bila ia memadukan kata-kata tersebut dengan nada, irama dan lagu hingga makin kuat pengaruhnya.
Ketiga. Bila mendengarkan musik dengan diiringi hal-hal yang haram, seperti arak, mengumbar aurat dan ikhtilat (campur baur laki-laki dengan perempuan tanpa batasan), maka hukumnya jadi haram Hal ini banyak ditemukan di tempat hiburan zaman dulu, yang mana penuh dengan para budak dan pelayan perempuan. Inilah yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Sungguh akan muncul golongan dari umatku yang meminum khamr, mereka menyebutnya dengan nama lain, sambil diperdengarkan nyanyian di hadapan mereka, semoga Allah menimbun mereka ke dalam bumi dan menjadikan mereka kera dan babi.”
Di sini saya tegaskan lagi bahwa dahulu untuk mendengarkan musik, seseorang harus datang ke tempat-tempat hiburan, dan terpaksa harus campur baur dengan para biduan/biduanita hingga sangat susah menghindari hal-hal yang diharamkan oleh agama. Adapun saat ini, jika seseorang ingin mendengarkan musik, ia cukup mendengarkannya tanpa perlu pergi ke tempat-tempat tersebut sehingga dapat terhindar dari efek negatifnya dan bisa jadi ini akan menerima rukhsoh.

Senin, 02 Maret 2015

Sampai jumpa lagi, Indonesia


Teringat sore itu, kala berbuka puasa di Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta. Ingat aku saat Pak Maulana dan seorang kawannya dari Broker Almasry, membagi seluruh boarding pass ke sejumlah orang dari kami. Mereka yang diserahi bertanggung jawab penuh atas pemilik-pemilik kartu dan urusan penerbangan mereka hingga sampai Mesir. Termasuk yang kupegang kala itu boarding pass milik Fenti Febriani dan Febry Eraz Chaniago, dua 'Febri' yang sukar kulupakan. Demi al-Azhar Mesir kami rela tinggalkan bapak-ibu, juga Tanah Air tercinta.

Sampai Kuala Lumpur pesawat kami transit sejenak, barangkali untuk isi bahan bakar bakar. Transit lagi bukan sejenak setelah itu di negara teluk yang kelak kami kenal dengan lembaga zakatnya, Kuwait. Hampir enam-delapan jam kami disuruh bersabar hingga pemberangkatan ke Mesir dilanjutkan. Aku sendiri, bareng Imam Taufiq, semalam suntuk termangu di Mushalla Bandara. Sesekali aku berkeliling mencari-cari, walau tanpa tujuan. Berpindah ke kursi di depan Mushalla, berdua kami nanya-nanya kenalan baru warga Malaysia. Bapak dengan peci putih khasnya yang juga bertujuan ke Mesir itu rupanya mahasiswa di sebuah provinsi Mesir, Thantha seingatku. Tampaknya ia sudah banyak makan asam-garam kehidupan dan perkuliahan Mesir. Bincang hangat dini hari tersebut terjebak di pikiran lalu mengendap jadi nostalgiaku. Dan yang paling kuingat darinya:

 مصر: (م) مشقة.. (ص) صبر..(ر) رضا
Masyaqqah berat, Shabr sabar dan Ridha rela

Begitu singkatan Mesir, menurutnya. Intinya hidup di sana bakal tak mudah. Hati kami kecut. Semoga itu cuma gertakan. Sampai di Mesir, rasanya omongan pria Malay tadi lumayan benar. Kali pertama menginjakkan kaki di Kairo, urusan kami langsung dipersulit. Sudah jelas paspor kami tertera visa entrynya, eh masih dipermasalahkan pihak imigrasi Mesir, barangkali gara-gara tampang kami pelajar. Tapi, kok visa kalian turis, sih?! Hasilnya, hampir sejam atau tiga jaman baru kami lolos. Mungkin yang jemput kami dongkol juga karena kelamaan menunggu. Tapi alhamdulillah, malah senyuman lega Delta, Lalu, Arwani, Imam.W, Kiwe, Mas Mughits dkk IKPM-Almasry yang kami dapati pas keluar. Merekalah senior-senior kami yang kelak menyandang titel Kambing.

Sempat kaget aku udara panas negeri ini turut tersenyum menyambut kedatangan kami. Pelan-pelan kesejukan AC terlepas begitu melewati pintu keluar. Jadilah angin gurun yang memeluk panas tubuh-tubuh berlapis jaket itu. Kami yang kala itu masih polos dan buta akan kemesiran, digiring meninggalkan Terminal Satu menuju bus mini putih yang juga telah lama menanti. Mahattah selanjutnya Bawwabat Tiga, tempat sekretariat IKPM, dan kami brokernya IKPM akan diturunkan di halte bus bersejarah itu, lima tahun sejak itu aku masih sering mengingatnya. Sejumlah pengurus PSP, salah satunya Kiki Subuki, kini namanya diganti Ahmad Rizki, juga tengah bersiap menyambut para Camaba al-Azhar 2010. Begitu cekatan tangan mereka menurunkan dan menghantarkan koper-koper berat itu ke rumah baru kami. Kami sendiri dipersilakan santai melepaskan letih di Sekre, sambil menyeruput secangkir Irsyad dari kakak-kakak pembimbing IKPM. Ah, gelar terhormat itu pantaskah disingkat begitu murah “Kambing”.

Tiba waktu sambutan ketua dan para senior IKPM, termasuk MPO-nya Pak Lason kala itu. Masih ingatkah nasihat beliau dulu? “Fokuslah belajar di Mesir, jangan pikir bisnis, dan lekas pulang ke Indo!” sebagian kata-katanya. Terserah apa tanggapan kalian. Aku pun setuju dengan beliau, awalnya. Hehe, fakta sekarang justru sebagian kami, aku juga, terpaksa mengenyam dunia bisnis. Sebagian lain keukeuh kayak rel metro anfaq, lurus, kadang lenggak-lenggok, namun tujuan utama sampai. Itulah sekeping puzzle perjalanan kami di Bumi Para Nabi. Semoga tali silaturahim ini tetap terjaga, sampai kelak di Indonesia. Selamat kawan-kawanku yang telah lulus dari al-Azhar, semoga ilmu kita bermanfaat bagi kaum kita. Doakan juga kelak kami menyusul kalian ke Indo dengan husnulkhatimah.

Minggu, 01 Maret 2015

Masa SMP di Pondok


Di SMPku, SMP Plus ar-Rahmat, liburan dijatah di hari jumat. Kesempatan tersebut tak kami sia-siakan dengan keluar pondok. Ya, SMP dengan nilai plus sistem asrama dalam pondok pesantren. Kegiatan liburan paling shopping di pasar atau mal, biasanya beli sabun atau jajanan, ataupun sekedar melepas penat dari pagi main bola sampai pegal sendiri kaki kami. Maklum, suntuk rasanya seminggu full menjalani aktivitas yang sama tiap harinya. Namun aku dan teman-teman, mengakui betapa besar jasa pondok dalam mendidik remaja-remaja Islam seperti kami.

Bagiku melewatkan masa SMP dalam pondok pesantren adalah pilihan luar biasa. Zaman jayanya anak-anak baru lulus SD dihabiskan dengan 'nyantri' dan belajar Islam. Rata-rata kami sama-sama dari SD, cuma beda-beda SD-nya.  Tiba-tiba kami bertemu dan hidup berasrama. Pagi dan sore mengaji bersama lalu makan dan tidur bersama, tapi tanpa senioritas kakak kelas,hehe.. waktu itu kami santri perdana ar-Rahmat. Walau aneh juga pertamanya, tapi lama-lama kami pun saling mengenal. Juga berkenalan dengan Mbah Jas, pendiri pondok sekaligus pengusaha tembakau kaya di Bojonegoro, namun beliau amat sederhana. Selain sekolah gratis, kami juga sering diberi uang saku dulu, hehe..

Masing-masing punya kesan dan kenalan baru. Ada Ustadz Zikrul yang berdisiplin ala Gontor, Ustadz Ihda yang kalem anteng, Ustadz Sriyono pengajar Matematika dan qiraah yang jenaka, Ustadz Wahab, Ustadz Roni dan Ustadz Ali yang tegas, tapi kadang santai diajak ngobrol. Makanya, di pondok dituntut saling pengertian satu sama lain, supaya kehidupan di asrama berjalan harmonis, antar santri dengan santri, atau santri dengan para ustadz. Pondok kami, di sana kami bertemu, di sana kami berpisah.


Tanyalah Ahli Zikir Jika Kau Tak Tahu

ِِِAbahku sering menasihati;
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
"Fas'alu ahladz dzikri in kuntum la ta`lamun"
"Tanyalah ahli zikir jika kau tidak tahu!"

Seingatku di SD Kauman IV dulu saya sangat suka pelajaran agama Islam. Sering kubaca di rumah bacaan-bacaan keislaman, termasuk LKS latihan soal dari sekolah. Banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab kutanyakan pada Abahku. Barangkali itu yang membuatku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Wiji.

"Bah, sifat Nabi ada empat. Apa saja? Sebutkan!"
"Siddiq, amanah, tabligh, fathanah," ujar Abahku.
"Siddiq itu jujur, amanah terpercaya, tabligh menyampaikan dan fathanah cerdas," imbuh Abah.

Benar saja, guru agamaku, Pak Wiji besoknya menanyakan soal-soal tersebut pada kami sekelas. Tak seorang pun mampu menjawab kecuali saya. Hehe, begitulah saya belajar dari Abahku hingga terpilih mewakili sekolahku, meski langsung kalah saat Cerdas Cermat Agama. Tapi setidaknya saya bisa ambil satu pelajaran, "Ilmu tak datang kecuali dari Allah SWT, Sang Pemberi ilmu."

Alhamdulillah, akhirnya kesempatan itu datang padaku. Kini, di al-Azhar Mesir tempatku berlabuh merupakan pusat kajian ilmu-ilmu Islam sejak berabad-abad. Para penimba ilmu terus berdatangan guna mengambil manfaat dari para alim ulamanya. Dan satu pesan abahku jadi modal utama, "Fas'alu ahladz dzikri in kuntum la ta`lamun".