Sabtu, 28 Februari 2015

The Lucky Number



Saya terkesan akan perkataan Pak Harfan pada murid-muridnya dalam film Laskar Pelangi, “Perhatikan angka di papan tulis ini baik-baik!” Hanya sebuah angka 313 yang tertulis besar di tengah-tengah papan. Nomor keberuntungan dan angka cantik, bagi saya.

Kenapa? Karena gampang dihafalkah? Atau karena ketiganya bilangan prima yang disukai oleh Allah?  Ataukah karena mirip dengan nama Kapak Wiro Sableng 212? Bukan, bukan itu semua! 313 adalah angka nominal para mujahid Islam yang melawan kaum kafir Quraisy ketika perang Badr Kubra .

Memang jumlah kaum musyrikin waktu itu sekitar seribuan (tiga kali lipat jumlah kaum muslimin). Ketika itu, orang-orang kafir sangat yakin merekalah yang bakal tampil sebagai pemenang. Mereka mengira kemenangan pasti menghampirinya hingga terpikir berfoya-foya dan merayakannya sebelum dua pasukan bertemu. Namun, kekalahanlah yang mereka dapat akhirnya.

Dengan seizin Allah, orang-orang Islam yang berjumlah tiga ratus tiga belas dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Kesabaran para pejuang muslim kala itu, walau kalah dari segi bilangan pasukan, membuahkan kemenangan. Mental tak takut mati berjuang di jalan Allah SWT membuat mereka bagai elang lapar yang tengah mengintai mangsanya. Walau sasaran terlihat tak mudah, tak peduli akan tetap disergapnya.

Lihat jumlah kedua pasukan di awal lalu bandingkan dengan jumlah yang bertahan di akhir. Mana yang lebih banyak? Karena itu, banyak bukan dinilai dari bilangan pasukan di awal. Melainkan banyak ditentukan oleh siapa berhasil memenangkan pertempuran. إِنَّمَا الكَثْرَةُ بِالنُصْرَةِ لَابِالعَدَدِ. “Sebenarnya banyak adalah dengan kemenangan, bukan ditentukan bilangan.” Jadi bilangan tak menentukan kalah-menangnya sebuah pasukan, kecuali setelah perang berakhir.

Dan lihat pula situasi sang Pemenang. Meski pasukan Islam kala itu sedang berpuasa, namun mereka tak peduli akan rasa lapar atau dahaga. Pikiran mereka satu, menegakkan kalimat tauhid di muka bumi. Risalah Islam harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Mereka yakin agama ini kelak bangkit dan akan tersebar hingga penjuru dunia.

Berbeda dengan musuhnya yang sombong dan congkak. Takabur telah menghinggapi hati mereka. Hanya karena jumlah, mereka bertingkah angkuh. Mereka yang mengagung-agungkan kekayaan dan kemuliaan nasab yang akhirnya semua binasa. Sang gajah yang sewenang-wenang dihabisi oleh sekawanan semut yang bersatu. Siapa yang salah akibat meremehkan lawan!

Pastinya karena doa Rasulullah SAW dan para sahabatnya, baik Muhajirin maupun Anshar, menaati instruksinya. Mereka berhasil memenangkan pertempuran bukan tanpa perjuangan. Mereka mempertaruhkan nyawa, bahkan Rasulullah SAW, meski diminta berlindung di kemah, ikut berperang dan turun sendiri ke medan perang. Beliaulah orang di barisan terdepan yang menerobos pertahanan musuh. Ya, beliau memberikan contoh secara langsung pada para sahabatnya dan mengajarkan keberanian berhadapan dengan lawan-lawan Islam. Tak heran, tiga ribu malaikatpun berdatangan dari langit untuk membantu Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Mereka berhasil memorak-porandakan barisan kaum kafir Quraisy. Hebat bukan, orang tiga ratusan sukses mengalahkan lawan berjumlah seribu!

(... قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ مُلقُوْا اللهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصّبِرِيْنَ)

“…Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS al-Baqarah [2] : 249)

Toleransi dengan Non-muslim


Al-Quran menekankan satu-satunya yang berhak menghisab manusia atas keabsahan akidahnya hanya Allah SWT, termasuk masalah balasannya kelak. Firman-Nya dalam surat Az-Zumar ayat 41 yang artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka”. Dan di lain tempat, Surat Yunus ayat 99, Allah berfirman yang artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Melalui ayat ini jelas bahwasanya kaum muslimin sama sekali tak berwenang terhadap urusan akidah umat lain. Masalah akidah menjadi tanggung jawab mereka masing-masing. Dan bila timbul perdebatan hendaknya diputuskan dengan bijaksana, melalui pelajaran dan bantahan yang baik.

Adapun berlaku baik terhadap non-muslim sudah merupakan kewajiban tiap muslim yang mengaku taat pada syariat Islam, asalkan mereka tak berbuat aniaya atau membantu musuh memerangi Islam. Sejak zaman Nabi SAW sampai hari ini, tak terhitung riwayat mengemukakan kerukunan umat Islam dengan umat lain, bahkan betapa banyak perjanjian damai dibuat oleh umat Islam dengan mereka. Tak ada bukti sejarah yang sah menyatakan kaum muslimin memaksa non-muslim agar mengikuti kepercayaan mereka. Lihatlah rumah peribadatan non-muslim tetap diperkenankan berdiri dan kemerdekaan beribadah juga dijamin. Hal ini adalah manifestasi dari surat al-Hajj ayat 39-40: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”

Rasulullah SAW sendiri pernah mengizinkan delegasi kaum nasrani Najran untuk melaksanakan ibadah mereka di masjidnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam Sirah Ibnu Hisyam. Begitu pula para khalifah sepeninggalannya memberi ahli zimi jaminan atas perlakuan baik dari kaum muslimin dan keamanan dari gangguan apapun. Sebagaimana dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam perjanjiannya dengan penduduk Baitul Maqdis: “Ini adalah perjanjian yang diberikan oleh hamba Allah, Amirulmukminin Umar bin Khattab bagi penduduk Iliyad atas jaminan keamanan, yaitu atas jiwa mereka, harta, gereja, salib dan segala kepercayaan mereka. Gereja mereka juga tidak akan ditempati, dihancurkan atau berkurang suatu apa pun darinya, baik wilayah, salib maupun hartanya. Mereka juga tak akan dipaksa memeluk agama ataupun diusik...” Tatkala revolusi di Mesir kita juga temui umat muslim salat dikawal oleh kaum nasrani. Sebaliknya, mereka juga dalam penjagaan umat Islam kala beribadah. Bahkan ketika mereka pergi merayakan hari raya, kaum musliminlah yang menjaga gereja mereka. Berkat rahmat ajaran Islam ini, tak jarang kita dapati gereja-gereja di negara Islam bersebelahan dengan masjid tanpa terganggu sedikit pun.

Tambahan, wujud toleransi Islam ini adalah begitu banyaknya perintah dalam al-Quran dan hadis agar kaum muslimin bergaul dengan baik kepada non-muslim, serta berlaku adil selama mereka tak mengganggu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah SAW berpesan kepada umatnya: “Barang siapa mengganggu ahli zimi maka ia telah menggangguku, dan barang siapa menggangguku maka ia telah mengganggu Allah!” Kemudian para sahabat dan penerus mereka semuanya menunjukkan sikap toleran ini, melalui nasihat dan wasiat mereka agar berdamai dan saling mengasihi pada non-muslim. Amirulmukminin Umar bin Khattab sebelum meninggal berkata, “Aku berpesan kepada para amirulmukminin setelahku agar berbuat baik kepada ahli zimi dan menepati perjanjian dengan mereka, serta berperang membela mereka dan jangan sampai membebani di luar batas mereka.” Ia juga sering menanyakan utusan tiap wilayah tentang kondisi ahli zimi dan bagaimana muamalah dengan mereka. Mereka pun menjawab kami tak menemui selain perjanjian yang terpenuhi. Sayidina Abdullah bin Umar pun kerap menyuruh pembantunya agar memberi daging kurban kepada tetangganya Yahudi. Beliau terus berpesan demikian hingga si pembantu heran apa yang membuatnya melakukan hal itu. Abdullah berkata, “Rasulullah SAW pernah mengatakan Jibril terus menerus menasihatiku agar berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku kira kelak ia akan memperoleh warisan”.

Tak kalah penting toleransi Islam tak jarang membangkitkan non-muslim untuk mencintai Islam. Fakta itu diakui sendiri oleh para musuh Islam. Imam Malik RA berkata telah sampai kabar bahwa saat pasukan muslimin datang membuka Syam seorang Nasrani berkata, “Demi Allah, kedatangan mereka ini lebih baik dari apa yang pernah dibawa para hawari kepada kita.” Meski sayang lembaran putih tersebut kadang justru ditanggapi dengan perlakuan yang tak pantas dari umat lain; Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu dsb. Namun, penting menyuarakan kepada tiap orang toleransi Islam ini atas dasar perdamaian dan kasih sayang, serta mewujudkan keadilan, baik muslim maupun non-muslim. Dan inilah gambaran etika dan toleransi yang dilukiskan Islam dan terus terekam sepanjang sejarah.

Bukan berarti dengan bertoleransi dan berkelakuan baik ini kita menyia-nyiakan agama, alias lepas tanggung jawab melindungi kehormatannya, sebagaimana terkadang salah diartikan orang. Dalam bukunya “Ghairul Muslimîna fil Mujtama`il Islâmi” Dr. Yusuf al-Qaradhawi berkata, “Sebagian orang menanamkan paham toleransi ini untuk menyamaratakan agama-agama, merenggangkan ikatannya lalu mengelilingkan mereka dan memadamkan semangat Iman, dengan dalih toleransi, patriotisme, nasionalisme atau semacamnya..” Dr. Thala`at Afifi, mantan Menteri Wakaf, tampil menanggapi hal tersebut. Ia menyanggah, “…Justu seharusnya kitalah penyeru toleransi. Bukankah agama kita yang menyuruh demikian. Siapa lagi yang memerintahkannya kalau bukan Allah dan rasul-Nya. Adapun mencabut hak agama, untuk merelakan hal-hal yang terjadi supaya terjadi, tentu bukan makna toleransi Islam. Namun hal itu termasuk berpaling dari agama atau kufur. Bahkan meninggikan makhluk di atas khalik serta kebatilan di atas kebenaran...” Tak perlu memaksa umat lain memeluk Islam, justru mereka akan berpaling. Dan ingat, toleransi bukanlah yang membuat ajaran Islam jumud dan bukan pula toleransi jika mengabaikan hudud dalam Islam, dengan alasan kuantitas non-muslim sedikit, atau supaya mereka merasa aman dan agar perasaan mereka tak tersakiti, dsb. Wallahualam.