Rabu, 04 Maret 2015
Beberapa Kaidah Nyanyian yang Halal
Terjemahan buku “Al-Islam Wal Fann” karya Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Hal. 66 – 80
Dalam mendengarkan musik dan nyanyian terdapat beberapa syarat;
Pertama. Sebenarnya, tak semua nyanyian itu hukumnya halal, dari segi muatan pun perlu diperhatikan, yaitu harus sesuai dengan akhlak dan nilai dalam Islam. Maka syair Abu Nuwas semisal di sini termasuk yang tidak boleh:
دعْ عَنْكَ لوْمِي فإنَّ اللوْمَ إغراءُ #وَدَاوِني بالتي كانَتْ هيَ الداءُ
Janganlah Kau olok diriku karena justru memancing hasratku
Dan obatilah sakitku ini dengan sebuah penyakit (Arak.red)
Begitu pula syair Ahmad Syawqee yang seperti ini;
رَمَضانُ وَلّي هاتِها يا ساقي # مُشتاقَةً تَسعي إِلي مُشتاقِ
Ramadhan kini pergi -Wahai Pelayan- tuangkan minumanku (Arak.red)
Sungguh ia tlah merindukanku, kemarilah wahai kekasih pada kekasihmu
Apalagi yang semacam kata-kata Elia Abu Madhi dalam kasidahnya “Tholasim”:
جئتُ لا أعلم من أين ولكني أتيتُ
ولقد أبصرتُ قدامي طريقاً فمشيتُ
كيف جئتُ كيف أبصرتُ طريقي
لست أدري
Ku muncul entah dari mana, aku tak tahu, tapi tiba-tiba aku telah ada
Tampak bagiku sebuah jalan di depan, lalu aku pun berjalan
Bagaimana aku ada? Bagaimana kutemukan jalan?
Aku sendiri tak tahu!
Begitu pula syair lain Elia yang berjudul “Min Gheir Leih”, telah diterjemahkan dalam bahasa 'ammiyah Mesir, yang pengaruhnya terus meluas. Nyanyian-nyanyian tersebut dilarang karena bisa menimbulkan efek keraguan dalam hal-hal keimanan, seperti masalah penciptaan, akhirat dan kenabian. Apalagi lagu berjudul “Dunia adalah rokok dan cangkir arak”, dan lagu-lagu semisalnya, yang berlawanan dengan ajaran Islam yang mengharamkan arak, karena termasuk perbuatan keji dan amalan setan. Bukan cuma para peminumnya, bahkan yang memeras, menjual, membawa, dan semua yang punya andil dilaknat oleh Islam. Termasuk pula yang temanya rokok yang merupakan penyakit masyarakat dan berbahaya bagi badan, jiwa serta harta. Kemudian nyanyian-nyanyian yang memuji penguasa zalim dan fasik yang gemar menindas rakyat. Para pelaku kezaliman dan pembantunya, termasuk orang-orang yang mendiamkan mereka juga dilaknat oleh Islam, apalagi memujinya!
Tak boleh pula nyanyian yang menyanjung mata-mata liar karena berlawanan dengan adab Islam, sesuai firman-Nya: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya...” dan “Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya…” dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Ali janganlah kau ikutkan pandangan dengan pandangan lain. Bagimu yang pertama, tapi bukan yang terakhir.”
Kedua dari segi penyampaiannya juga perlu diperhatikan. Bisa jadi hukum nyanyian itu sendiri aslinya mubah, namun jika si penyanyi menyampaikannya dengan dibuat-buat guna memancing syahwat, bisa-bisa hukumnya jadi haram, subhat, atau makruh. Sebagaimana nyanyian-nyanyian yang disiarkan di beberapa radio yang membangkitkan hasrat, terutama bagi kalangan muda-mudi yang sedang bergejolak. Sebagaiman firman-Nya kepada para istri nabi SAW (Janganlah Kalian tunduk dalam berbicara hingga menimbulkan keinginan (hasrat) orang yang terdapat penyakit dalam hatinya) . Apalagi bila ia memadukan kata-kata tersebut dengan nada, irama dan lagu hingga makin kuat pengaruhnya.
Ketiga. Bila mendengarkan musik dengan diiringi hal-hal yang haram, seperti arak, mengumbar aurat dan ikhtilat (campur baur laki-laki dengan perempuan tanpa batasan), maka hukumnya jadi haram Hal ini banyak ditemukan di tempat hiburan zaman dulu, yang mana penuh dengan para budak dan pelayan perempuan. Inilah yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah: “Sungguh akan muncul golongan dari umatku yang meminum khamr, mereka menyebutnya dengan nama lain, sambil diperdengarkan nyanyian di hadapan mereka, semoga Allah menimbun mereka ke dalam bumi dan menjadikan mereka kera dan babi.”
Di sini saya tegaskan lagi bahwa dahulu untuk mendengarkan musik, seseorang harus datang ke tempat-tempat hiburan, dan terpaksa harus campur baur dengan para biduan/biduanita hingga sangat susah menghindari hal-hal yang diharamkan oleh agama. Adapun saat ini, jika seseorang ingin mendengarkan musik, ia cukup mendengarkannya tanpa perlu pergi ke tempat-tempat tersebut sehingga dapat terhindar dari efek negatifnya dan bisa jadi ini akan menerima rukhsoh.
Senin, 02 Maret 2015
Sampai jumpa lagi, Indonesia
Teringat sore itu, kala berbuka puasa di Bandara Sukarno-Hatta, Jakarta. Ingat aku saat Pak Maulana dan seorang kawannya dari Broker Almasry, membagi seluruh boarding pass ke sejumlah orang dari kami. Mereka yang diserahi bertanggung jawab penuh atas pemilik-pemilik kartu dan urusan penerbangan mereka hingga sampai Mesir. Termasuk yang kupegang kala itu boarding pass milik Fenti Febriani dan Febry Eraz Chaniago, dua 'Febri' yang sukar kulupakan. Demi al-Azhar Mesir kami rela tinggalkan bapak-ibu, juga Tanah Air tercinta.
Sampai Kuala Lumpur pesawat kami transit sejenak, barangkali untuk isi bahan bakar bakar. Transit lagi bukan sejenak setelah itu di negara teluk yang kelak kami kenal dengan lembaga zakatnya, Kuwait. Hampir enam-delapan jam kami disuruh bersabar hingga pemberangkatan ke Mesir dilanjutkan. Aku sendiri, bareng Imam Taufiq, semalam suntuk termangu di Mushalla Bandara. Sesekali aku berkeliling mencari-cari, walau tanpa tujuan. Berpindah ke kursi di depan Mushalla, berdua kami nanya-nanya kenalan baru warga Malaysia. Bapak dengan peci putih khasnya yang juga bertujuan ke Mesir itu rupanya mahasiswa di sebuah provinsi Mesir, Thantha seingatku. Tampaknya ia sudah banyak makan asam-garam kehidupan dan perkuliahan Mesir. Bincang hangat dini hari tersebut terjebak di pikiran lalu mengendap jadi nostalgiaku. Dan yang paling kuingat darinya:
مصر: (م) مشقة.. (ص) صبر..(ر) رضا
Masyaqqah berat, Shabr sabar dan Ridha rela
Begitu singkatan Mesir, menurutnya. Intinya hidup di sana bakal tak mudah. Hati kami kecut. Semoga itu cuma gertakan. Sampai di Mesir, rasanya omongan pria Malay tadi lumayan benar. Kali pertama menginjakkan kaki di Kairo, urusan kami langsung dipersulit. Sudah jelas paspor kami tertera visa entrynya, eh masih dipermasalahkan pihak imigrasi Mesir, barangkali gara-gara tampang kami pelajar. Tapi, kok visa kalian turis, sih?! Hasilnya, hampir sejam atau tiga jaman baru kami lolos. Mungkin yang jemput kami dongkol juga karena kelamaan menunggu. Tapi alhamdulillah, malah senyuman lega Delta, Lalu, Arwani, Imam.W, Kiwe, Mas Mughits dkk IKPM-Almasry yang kami dapati pas keluar. Merekalah senior-senior kami yang kelak menyandang titel Kambing.
Sempat kaget aku udara panas negeri ini turut tersenyum menyambut kedatangan kami. Pelan-pelan kesejukan AC terlepas begitu melewati pintu keluar. Jadilah angin gurun yang memeluk panas tubuh-tubuh berlapis jaket itu. Kami yang kala itu masih polos dan buta akan kemesiran, digiring meninggalkan Terminal Satu menuju bus mini putih yang juga telah lama menanti. Mahattah selanjutnya Bawwabat Tiga, tempat sekretariat IKPM, dan kami brokernya IKPM akan diturunkan di halte bus bersejarah itu, lima tahun sejak itu aku masih sering mengingatnya. Sejumlah pengurus PSP, salah satunya Kiki Subuki, kini namanya diganti Ahmad Rizki, juga tengah bersiap menyambut para Camaba al-Azhar 2010. Begitu cekatan tangan mereka menurunkan dan menghantarkan koper-koper berat itu ke rumah baru kami. Kami sendiri dipersilakan santai melepaskan letih di Sekre, sambil menyeruput secangkir Irsyad dari kakak-kakak pembimbing IKPM. Ah, gelar terhormat itu pantaskah disingkat begitu murah “Kambing”.
Tiba waktu sambutan ketua dan para senior IKPM, termasuk MPO-nya Pak Lason kala itu. Masih ingatkah nasihat beliau dulu? “Fokuslah belajar di Mesir, jangan pikir bisnis, dan lekas pulang ke Indo!” sebagian kata-katanya. Terserah apa tanggapan kalian. Aku pun setuju dengan beliau, awalnya. Hehe, fakta sekarang justru sebagian kami, aku juga, terpaksa mengenyam dunia bisnis. Sebagian lain keukeuh kayak rel metro anfaq, lurus, kadang lenggak-lenggok, namun tujuan utama sampai. Itulah sekeping puzzle perjalanan kami di Bumi Para Nabi. Semoga tali silaturahim ini tetap terjaga, sampai kelak di Indonesia. Selamat kawan-kawanku yang telah lulus dari al-Azhar, semoga ilmu kita bermanfaat bagi kaum kita. Doakan juga kelak kami menyusul kalian ke Indo dengan husnulkhatimah.
Minggu, 01 Maret 2015
Masa SMP di Pondok
Di SMPku, SMP Plus ar-Rahmat, liburan dijatah di hari jumat. Kesempatan tersebut tak kami sia-siakan dengan keluar pondok. Ya, SMP dengan nilai plus sistem asrama dalam pondok pesantren. Kegiatan liburan paling shopping di pasar atau mal, biasanya beli sabun atau jajanan, ataupun sekedar melepas penat dari pagi main bola sampai pegal sendiri kaki kami. Maklum, suntuk rasanya seminggu full menjalani aktivitas yang sama tiap harinya. Namun aku dan teman-teman, mengakui betapa besar jasa pondok dalam mendidik remaja-remaja Islam seperti kami.
Bagiku melewatkan masa SMP dalam pondok pesantren adalah pilihan luar biasa. Zaman jayanya anak-anak baru lulus SD dihabiskan dengan 'nyantri' dan belajar Islam. Rata-rata kami sama-sama dari SD, cuma beda-beda SD-nya. Tiba-tiba kami bertemu dan hidup berasrama. Pagi dan sore mengaji bersama lalu makan dan tidur bersama, tapi tanpa senioritas kakak kelas,hehe.. waktu itu kami santri perdana ar-Rahmat. Walau aneh juga pertamanya, tapi lama-lama kami pun saling mengenal. Juga berkenalan dengan Mbah Jas, pendiri pondok sekaligus pengusaha tembakau kaya di Bojonegoro, namun beliau amat sederhana. Selain sekolah gratis, kami juga sering diberi uang saku dulu, hehe..
Masing-masing punya kesan dan kenalan baru. Ada Ustadz Zikrul yang berdisiplin ala Gontor, Ustadz Ihda yang kalem anteng, Ustadz Sriyono pengajar Matematika dan qiraah yang jenaka, Ustadz Wahab, Ustadz Roni dan Ustadz Ali yang tegas, tapi kadang santai diajak ngobrol. Makanya, di pondok dituntut saling pengertian satu sama lain, supaya kehidupan di asrama berjalan harmonis, antar santri dengan santri, atau santri dengan para ustadz. Pondok kami, di sana kami bertemu, di sana kami berpisah.
Tanyalah Ahli Zikir Jika Kau Tak Tahu
ِِِAbahku sering menasihati;
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
"Fas'alu ahladz dzikri in kuntum la ta`lamun"
"Tanyalah ahli zikir jika kau tidak tahu!"
Seingatku di SD Kauman IV dulu saya sangat suka pelajaran agama Islam. Sering kubaca di rumah bacaan-bacaan keislaman, termasuk LKS latihan soal dari sekolah. Banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab kutanyakan pada Abahku. Barangkali itu yang membuatku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Wiji.
"Bah, sifat Nabi ada empat. Apa saja? Sebutkan!"
"Siddiq, amanah, tabligh, fathanah," ujar Abahku.
"Siddiq itu jujur, amanah terpercaya, tabligh menyampaikan dan fathanah cerdas," imbuh Abah.
Benar saja, guru agamaku, Pak Wiji besoknya menanyakan soal-soal tersebut pada kami sekelas. Tak seorang pun mampu menjawab kecuali saya. Hehe, begitulah saya belajar dari Abahku hingga terpilih mewakili sekolahku, meski langsung kalah saat Cerdas Cermat Agama. Tapi setidaknya saya bisa ambil satu pelajaran, "Ilmu tak datang kecuali dari Allah SWT, Sang Pemberi ilmu."
Alhamdulillah, akhirnya kesempatan itu datang padaku. Kini, di al-Azhar Mesir tempatku berlabuh merupakan pusat kajian ilmu-ilmu Islam sejak berabad-abad. Para penimba ilmu terus berdatangan guna mengambil manfaat dari para alim ulamanya. Dan satu pesan abahku jadi modal utama, "Fas'alu ahladz dzikri in kuntum la ta`lamun".
فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
"Fas'alu ahladz dzikri in kuntum la ta`lamun"
"Tanyalah ahli zikir jika kau tidak tahu!"
Seingatku di SD Kauman IV dulu saya sangat suka pelajaran agama Islam. Sering kubaca di rumah bacaan-bacaan keislaman, termasuk LKS latihan soal dari sekolah. Banyak pertanyaan yang tak bisa kujawab kutanyakan pada Abahku. Barangkali itu yang membuatku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Pak Wiji.
"Bah, sifat Nabi ada empat. Apa saja? Sebutkan!"
"Siddiq, amanah, tabligh, fathanah," ujar Abahku.
"Siddiq itu jujur, amanah terpercaya, tabligh menyampaikan dan fathanah cerdas," imbuh Abah.
Benar saja, guru agamaku, Pak Wiji besoknya menanyakan soal-soal tersebut pada kami sekelas. Tak seorang pun mampu menjawab kecuali saya. Hehe, begitulah saya belajar dari Abahku hingga terpilih mewakili sekolahku, meski langsung kalah saat Cerdas Cermat Agama. Tapi setidaknya saya bisa ambil satu pelajaran, "Ilmu tak datang kecuali dari Allah SWT, Sang Pemberi ilmu."
Alhamdulillah, akhirnya kesempatan itu datang padaku. Kini, di al-Azhar Mesir tempatku berlabuh merupakan pusat kajian ilmu-ilmu Islam sejak berabad-abad. Para penimba ilmu terus berdatangan guna mengambil manfaat dari para alim ulamanya. Dan satu pesan abahku jadi modal utama, "Fas'alu ahladz dzikri in kuntum la ta`lamun".
Sabtu, 28 Februari 2015
The Lucky Number
Saya terkesan akan perkataan Pak Harfan pada murid-muridnya dalam film Laskar Pelangi, “Perhatikan angka di papan tulis ini baik-baik!” Hanya sebuah angka 313 yang tertulis besar di tengah-tengah papan. Nomor keberuntungan dan angka cantik, bagi saya.
Kenapa? Karena gampang dihafalkah? Atau karena ketiganya bilangan prima yang disukai oleh Allah? Ataukah karena mirip dengan nama Kapak Wiro Sableng 212? Bukan, bukan itu semua! 313 adalah angka nominal para mujahid Islam yang melawan kaum kafir Quraisy ketika perang Badr Kubra .
Memang jumlah kaum musyrikin waktu itu sekitar seribuan (tiga kali lipat jumlah kaum muslimin). Ketika itu, orang-orang kafir sangat yakin merekalah yang bakal tampil sebagai pemenang. Mereka mengira kemenangan pasti menghampirinya hingga terpikir berfoya-foya dan merayakannya sebelum dua pasukan bertemu. Namun, kekalahanlah yang mereka dapat akhirnya.
Dengan seizin Allah, orang-orang Islam yang berjumlah tiga ratus tiga belas dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Kesabaran para pejuang muslim kala itu, walau kalah dari segi bilangan pasukan, membuahkan kemenangan. Mental tak takut mati berjuang di jalan Allah SWT membuat mereka bagai elang lapar yang tengah mengintai mangsanya. Walau sasaran terlihat tak mudah, tak peduli akan tetap disergapnya.
Lihat jumlah kedua pasukan di awal lalu bandingkan dengan jumlah yang bertahan di akhir. Mana yang lebih banyak? Karena itu, banyak bukan dinilai dari bilangan pasukan di awal. Melainkan banyak ditentukan oleh siapa berhasil memenangkan pertempuran. إِنَّمَا الكَثْرَةُ بِالنُصْرَةِ لَابِالعَدَدِ. “Sebenarnya banyak adalah dengan kemenangan, bukan ditentukan bilangan.” Jadi bilangan tak menentukan kalah-menangnya sebuah pasukan, kecuali setelah perang berakhir.
Dan lihat pula situasi sang Pemenang. Meski pasukan Islam kala itu sedang berpuasa, namun mereka tak peduli akan rasa lapar atau dahaga. Pikiran mereka satu, menegakkan kalimat tauhid di muka bumi. Risalah Islam harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Mereka yakin agama ini kelak bangkit dan akan tersebar hingga penjuru dunia.
Berbeda dengan musuhnya yang sombong dan congkak. Takabur telah menghinggapi hati mereka. Hanya karena jumlah, mereka bertingkah angkuh. Mereka yang mengagung-agungkan kekayaan dan kemuliaan nasab yang akhirnya semua binasa. Sang gajah yang sewenang-wenang dihabisi oleh sekawanan semut yang bersatu. Siapa yang salah akibat meremehkan lawan!
Pastinya karena doa Rasulullah SAW dan para sahabatnya, baik Muhajirin maupun Anshar, menaati instruksinya. Mereka berhasil memenangkan pertempuran bukan tanpa perjuangan. Mereka mempertaruhkan nyawa, bahkan Rasulullah SAW, meski diminta berlindung di kemah, ikut berperang dan turun sendiri ke medan perang. Beliaulah orang di barisan terdepan yang menerobos pertahanan musuh. Ya, beliau memberikan contoh secara langsung pada para sahabatnya dan mengajarkan keberanian berhadapan dengan lawan-lawan Islam. Tak heran, tiga ribu malaikatpun berdatangan dari langit untuk membantu Rasulullah SAW dan kaum muslimin. Mereka berhasil memorak-porandakan barisan kaum kafir Quraisy. Hebat bukan, orang tiga ratusan sukses mengalahkan lawan berjumlah seribu!
(... قَالَ الَّذِيْنَ يَظُنُّوْنَ أَنَّهُمْ مُلقُوْا اللهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيْلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيْرَةً بِإِذْنِ اللهِ وَاللهُ مَعَ الصّبِرِيْنَ)
“…Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS al-Baqarah [2] : 249)
Toleransi dengan Non-muslim
Al-Quran menekankan satu-satunya yang berhak menghisab manusia atas keabsahan akidahnya hanya Allah SWT, termasuk masalah balasannya kelak. Firman-Nya dalam surat Az-Zumar ayat 41 yang artinya: “Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu al-kitab (al-Quran) untuk manusia dengan membawa kebenaran; siapa yang mendapat petunjuk maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri, dan siapa yang sesat maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri, dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka”. Dan di lain tempat, Surat Yunus ayat 99, Allah berfirman yang artinya: “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” Melalui ayat ini jelas bahwasanya kaum muslimin sama sekali tak berwenang terhadap urusan akidah umat lain. Masalah akidah menjadi tanggung jawab mereka masing-masing. Dan bila timbul perdebatan hendaknya diputuskan dengan bijaksana, melalui pelajaran dan bantahan yang baik.
Adapun berlaku baik terhadap non-muslim sudah merupakan kewajiban tiap muslim yang mengaku taat pada syariat Islam, asalkan mereka tak berbuat aniaya atau membantu musuh memerangi Islam. Sejak zaman Nabi SAW sampai hari ini, tak terhitung riwayat mengemukakan kerukunan umat Islam dengan umat lain, bahkan betapa banyak perjanjian damai dibuat oleh umat Islam dengan mereka. Tak ada bukti sejarah yang sah menyatakan kaum muslimin memaksa non-muslim agar mengikuti kepercayaan mereka. Lihatlah rumah peribadatan non-muslim tetap diperkenankan berdiri dan kemerdekaan beribadah juga dijamin. Hal ini adalah manifestasi dari surat al-Hajj ayat 39-40: “Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah.” Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”
Rasulullah SAW sendiri pernah mengizinkan delegasi kaum nasrani Najran untuk melaksanakan ibadah mereka di masjidnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dalam Sirah Ibnu Hisyam. Begitu pula para khalifah sepeninggalannya memberi ahli zimi jaminan atas perlakuan baik dari kaum muslimin dan keamanan dari gangguan apapun. Sebagaimana dicontohkan Khalifah Umar bin Khattab dalam perjanjiannya dengan penduduk Baitul Maqdis: “Ini adalah perjanjian yang diberikan oleh hamba Allah, Amirulmukminin Umar bin Khattab bagi penduduk Iliyad atas jaminan keamanan, yaitu atas jiwa mereka, harta, gereja, salib dan segala kepercayaan mereka. Gereja mereka juga tidak akan ditempati, dihancurkan atau berkurang suatu apa pun darinya, baik wilayah, salib maupun hartanya. Mereka juga tak akan dipaksa memeluk agama ataupun diusik...” Tatkala revolusi di Mesir kita juga temui umat muslim salat dikawal oleh kaum nasrani. Sebaliknya, mereka juga dalam penjagaan umat Islam kala beribadah. Bahkan ketika mereka pergi merayakan hari raya, kaum musliminlah yang menjaga gereja mereka. Berkat rahmat ajaran Islam ini, tak jarang kita dapati gereja-gereja di negara Islam bersebelahan dengan masjid tanpa terganggu sedikit pun.
Tambahan, wujud toleransi Islam ini adalah begitu banyaknya perintah dalam al-Quran dan hadis agar kaum muslimin bergaul dengan baik kepada non-muslim, serta berlaku adil selama mereka tak mengganggu. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Rasulullah SAW berpesan kepada umatnya: “Barang siapa mengganggu ahli zimi maka ia telah menggangguku, dan barang siapa menggangguku maka ia telah mengganggu Allah!” Kemudian para sahabat dan penerus mereka semuanya menunjukkan sikap toleran ini, melalui nasihat dan wasiat mereka agar berdamai dan saling mengasihi pada non-muslim. Amirulmukminin Umar bin Khattab sebelum meninggal berkata, “Aku berpesan kepada para amirulmukminin setelahku agar berbuat baik kepada ahli zimi dan menepati perjanjian dengan mereka, serta berperang membela mereka dan jangan sampai membebani di luar batas mereka.” Ia juga sering menanyakan utusan tiap wilayah tentang kondisi ahli zimi dan bagaimana muamalah dengan mereka. Mereka pun menjawab kami tak menemui selain perjanjian yang terpenuhi. Sayidina Abdullah bin Umar pun kerap menyuruh pembantunya agar memberi daging kurban kepada tetangganya Yahudi. Beliau terus berpesan demikian hingga si pembantu heran apa yang membuatnya melakukan hal itu. Abdullah berkata, “Rasulullah SAW pernah mengatakan Jibril terus menerus menasihatiku agar berbuat baik kepada tetangga, sampai-sampai aku kira kelak ia akan memperoleh warisan”.
Tak kalah penting toleransi Islam tak jarang membangkitkan non-muslim untuk mencintai Islam. Fakta itu diakui sendiri oleh para musuh Islam. Imam Malik RA berkata telah sampai kabar bahwa saat pasukan muslimin datang membuka Syam seorang Nasrani berkata, “Demi Allah, kedatangan mereka ini lebih baik dari apa yang pernah dibawa para hawari kepada kita.” Meski sayang lembaran putih tersebut kadang justru ditanggapi dengan perlakuan yang tak pantas dari umat lain; Yahudi, Nasrani, Budha, Hindu dsb. Namun, penting menyuarakan kepada tiap orang toleransi Islam ini atas dasar perdamaian dan kasih sayang, serta mewujudkan keadilan, baik muslim maupun non-muslim. Dan inilah gambaran etika dan toleransi yang dilukiskan Islam dan terus terekam sepanjang sejarah.
Bukan berarti dengan bertoleransi dan berkelakuan baik ini kita menyia-nyiakan agama, alias lepas tanggung jawab melindungi kehormatannya, sebagaimana terkadang salah diartikan orang. Dalam bukunya “Ghairul Muslimîna fil Mujtama`il Islâmi” Dr. Yusuf al-Qaradhawi berkata, “Sebagian orang menanamkan paham toleransi ini untuk menyamaratakan agama-agama, merenggangkan ikatannya lalu mengelilingkan mereka dan memadamkan semangat Iman, dengan dalih toleransi, patriotisme, nasionalisme atau semacamnya..” Dr. Thala`at Afifi, mantan Menteri Wakaf, tampil menanggapi hal tersebut. Ia menyanggah, “…Justu seharusnya kitalah penyeru toleransi. Bukankah agama kita yang menyuruh demikian. Siapa lagi yang memerintahkannya kalau bukan Allah dan rasul-Nya. Adapun mencabut hak agama, untuk merelakan hal-hal yang terjadi supaya terjadi, tentu bukan makna toleransi Islam. Namun hal itu termasuk berpaling dari agama atau kufur. Bahkan meninggikan makhluk di atas khalik serta kebatilan di atas kebenaran...” Tak perlu memaksa umat lain memeluk Islam, justru mereka akan berpaling. Dan ingat, toleransi bukanlah yang membuat ajaran Islam jumud dan bukan pula toleransi jika mengabaikan hudud dalam Islam, dengan alasan kuantitas non-muslim sedikit, atau supaya mereka merasa aman dan agar perasaan mereka tak tersakiti, dsb. Wallahualam.
Langganan:
Postingan (Atom)